CERPEN | Sang Pemilik Cinta

07.33 1 Comments A+ a-

Sang Pemilik Cinta

Oleh : Putri Alvita


Malam semakin larut. Hujan kian lebat. Lelaki paruh baya bersama seorang wanita di rumah itu hanya duduk diam berhadapan di ruang tengah. Bertengkar hebat dalam diam. Sinar putus asa terpancar dari mata keduanya. Raut wajah  kekakuan. Petir menyambar. Gemuruh bersahutan. Tapi tak membuat hati gentar. Ada masalah lain yang lebih penting. Lebih menakutkan. Dan malam itu, semuanya harus selesai.
Ketika itu aku hanyalah seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Papa sudah menyuruhku masuk selesai makan malam yang kaku. Tapi karena penasaran, aku tetap berusaha mengintip dari balik dinding.
“Aku tidak tahu cara untuk mengakhirinya. Tapi urusan kita sudah selesai malam ini.” Suara papa memecah keheningan. Terdengar bergetar, namun tegas.
Mama mengangguk. Mereka tidak berbicara banyak, tapi Mama mengerti. Perubahan sikap Papa sejak beberapa waktu lalu sudah cukup untuk membuatnya mengerti. Semenjak Papa sering ke masjid.
Wanita bermata sipit itu berdiri dari sofa. Matanya menatap lurus ke depan, tak nampak gentar sedikit pun. Tapi mata sembabnya tak dapat berbohong. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Aku melihatnya menangis setiap malam beberapa minggu belakangan.
Kakinya mulai melangkah meninggalkan rumah. Dan aku hanya dapat melihat punggungnya yang semakin menjauh lewat jendela. Mama malam itu sendirian pergi menempuh hujan lebat dengan payungnya. Dan tak pernah kembali lagi.
Aku tidak mengerti. Kejadian itu sudah tiga tahun berlalu. Anehnya, Papa masih bilang mencintai mama sampai sekarang. Mama cinta pertamanya. Kisah cinta orang dewasa ternyata rumit sekali. Aku tidak mau seperti mereka. Lebih baik tidak menjadi dewasa atau…, sama sekali tidak jatuh cinta.
❀❀❀



Di satu hari dimana angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran di jalanan, aku berpapasan dengan seorang gadis berseragam sekolah yang berlari menuju arah yang berlawanan denganku. Mata kami beradu, meski singkat, namun rasanya seperti tersengat listrik berjuta volt. Dia tersenyum, dan senyuman itu mampu meruntuhkan benteng-benteng pertahanan yang lama kubangun di dalam dada. Aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Dan tentu saja aku masih ingat. Sekarang dia sudah berjilbab. Cinta pertamaku, Salsabila.

Kami satu kelas saat SD, dan perasaan itu muncul sejak aku mulai mengalami masa pubertas. Sekitar kelas lima, dia menertawakan suaraku yang semakin besar. Seperti suara drum katanya. Tapi aku tidak mengapa, meski sedikit malu karenanya. Karena aku menyukainya. Ah, masa-masa dulu membuat tertawa ketika mengingatnya.
Jantungku serasa akan copot ketika tahu bahwa aku mendapat lotre bangku di sebelahnya. Salsabila tampak tenang sekali. Hanya aku saja yang gugup, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa mukaku di hadapannya. Mungkin merah seperti kepiting rebus.
 “Kenichi?”
Leherku patah-patah melihat ke arahnya. Saking gugupnya, aku hampir terjatuh dari kursi.
Salsabila tertawa geli melihat tingkahku. “Eh, kamu benar orang Jepang, ya? Pantas saja nama dan wajah kamu mirip orang Jepang. Bisa bahasa Jepang?”
Aku menggeleng. Segenap energi kukumpulkan. “Ehm.., se…sebenarnya hanya ibuku orang Jepang. Aku lahir di sini.” Sulit sekali rasanya hanya mengatakan kata-kata itu.
Kami hanya bicara sedikit itu sampai akhirnya aku dan Papa harus pindah rumah. Dan itu artinya juga pindah sekolah.

Aku masih berjalan menyusuri jalanan trotoar yang sepi. Masih tidak yakin dia orangnya, aku tidak seharusnya menghayal bertemu cinta pertama di saat suasana sedang dramatis ini. Karena tentu saja, hidupku bukan drama korea.
“Kenichi!” Aku menghentikan langkah. Sedikit merasa aneh, jarang sekali ada yang memanggilku dengan nama itu. Memutar leher, menengok ke belakang. Gadis itu!
“Ternyata benar kamu. Lama tidak ketemu, ya.”
“I..iya, Salsa.” Sudah hampir tiga tahun, tapi saja aku masih kikuk.
“Oh, iya. Jalan ke Smansa yang mana, ya? Bingung, kemarin sih sudah ke sana, tapi sekarang lupa lagi.”
“Itu sekolah saya, jalannya lewat sini.” Aku mengantarnya, sekaligus aku memang sedang dalam perjalanan ke sekolah.
“Memangnya ada urusan apa di sana?”
“Aku dan keluarga pindah ke sini.”
“Pindah?”
Percakapan kami hanya sebatas itu selama perjalanan. Mendengar Salsabila akan pindah ke sekolahku rasanya aneh sekali, aku jadi sulit mengatur nafas. Astaga, kenapa jadi begini?
❀❀❀
Takdirkah? Salsa ternyata sekelas denganku. Aku semakin sering salah tingkah, meski senang juga. Kami lebih sering berkomunikasi. Dia belum punya teman, mungkin karena itu juga dia cuma  berbicara denganku. Kadang Salsa sering lupa jalan pulang, dan memintaku mengantarnya.
Sepanjang perjalanan, Salsa tidak banyak bicara. Dia bukan tipe perempuan yang heboh apalagi centil, yang mau tahu urusan laki-laki. Kali ini dia membawa buku, berjalan sambil membaca. Judul buku itu seperti menyindirku, tapi dalam waktu bersamaan merasa risih.

“Kalau akan ada cinta kedua, ketiga, dan seterusnya, apa istimewanya cinta pertama?” Tiba-tiba saja aku berkomentar dengan nada sinis seperti itu.
Salsa menurunkan bukunya.
“Semua orang seperti mengagungkan cinta pertama. Judul buku, cinta pertama, lomba menulis cerpen, cinta pertama. Memangnya apa istimewanya cinta pertama? Toh, rata-rata orang berjodoh bukan dengan cinta pertama mereka.”
 “Cinta pertama itu selalu istimewa, Hanif Kenichi. Ibu, pelabuhan cinta pertama seorang anak. Masalah jodoh, tidak ada yang tahu, kita tidak bisa berpatokan kepada yang rata-rata.”
Langkah kami semakin pelan. Bayang-bayang Mama terlintas di kepalaku. “Papa saya bilang, Mama adalah cinta pertamanya.”
Rasanya aku sangat ingin sesekali bercerita. Bertahun-tahun memendamnya sendiri. Untaian cerita-cerita berikutnya mengalir, tentang semua yang kualami selama ini.
Salsa menyimak.
Esok hari dan seterusnya Salsa tidak meminta diantar lagi. Dia sudah tahu kejahilanku yang mengantarnya lewat jalan-jalan yang berbeda setiap hari, hingga membuatnya bingung dan merasa aneh dengan kemampuan ingatannya. Dia juga sudah punya teman perempuan yang bisa mengantarnya dengan lebih jujur. Tak mengapa, itu memang salahku.
Tapi hari ini, aku ingin menemaninya pulang. Awalnya dia menolak, katanya dia tidak ingin berdua bersama laki-laki tanpa tujuan. Tapi aku meyakinkannya, bilang aku cuma ingin mengantarnya pulang. Salsa akhirnya setuju, melihat jalanan yang masih ramai.
Selama perjalanan, hanya hentakan telapak sepatu kami yang terdengar. Hingga kami sampai di sebuah jalan yang merupakan tempat pertama aku menemukannya kembali. Suasana tidak sedramatis dulu, cahaya matahari menyengat, tidak ada dedaunan pohon yang jatuh, jalan ramai, dan udara panas.
Aku mengehentikan langkah, menatap mata Salsa dengan tatapan yang dalam. Merasa ada keanehan dalam tatapanku, Salsa lekas menundukkan pandangan. Memegang tali tas punggungnya kuat-kuat.
Suasana santai tadi berubah semakin serius.
“Kamu cinta pertama saya,  Sal. Meski saya tidak tahu akan ada cinta selanjutnya atau tidak.”
Salsabila hanya diam, menunduk semakin dalam.
 “Cuma sama kamu saya bisa cerita. Cuma kamu yang mau mendengarkan. Tapi kalau kamu pergi juga…,” Aku menahan nafas, mendesah.
Salsa menggigit bibir, akhirnya mau mengangkat kepala menatapku. “Aku nggak akan pergi, Hanif. Tapi hubungan antara lelaki dan perempuan ya memang harus sebatas ini. Kita bisa jadi teman, kamu bisa terus cerita tanpa canggung.”
Itu penolakan secara halus.
“Tetap saja itu hal yang berbeda.” Aku mengalihkan pandangan pada jalan yang ramai.
“Hanif, kamu nekat sekali nembak muslimah berhijab.” Salsa mengatur nafas. “Cuma ayah kamu yang muslim, Han. Di identitas kamu, ya memang juga tertulis begitu. Tapi aku masih belum tahu kamu yang sebenarnya.”
“Kamu ragu karena itu?”
Salsabila menggeleng. “Itu cuma alasan pendukung, Han. Aku memang belum ingin pacaran dulu.”
“Sama saya?”
“Sama siapapun. Agama saya melarangnya, dan aku yakin itu untuk kebaikanku.”
“Agama kamu? Saya Islam, Sal.”
“Kalau begitu, saya mau bukti, kita bertemu bulan depan. Di jalan ini, di waktu yang sama. Tapi syaratnya, kamu harus sudah benar-benar Islam. Maksudku, kamu pelajari dengan baik hukum-hukum agama Islam. Setelah itu, kita bertemu di sini. Saya pastikan, jawaban saya adalah ‘iya.”
“Kamu yakin? Walau ternyata saya tidak benar-benar memenuhi syarat?”
Salsa cuma tersenyum dan menyerahkan sebuah buku sebelum berlalu pergi. Punggung Salsa menjauh, aku membuka buku yang diberikannya. Itu buku yang sering dibacanya setiap di jalan pulang sekolah. Cinta pertama?



 “Hanif…,” Suara Papa langsung memanggil ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah, menutup pintu. Menghampiri Papa yang tengah duduk di ruang tengah.
“Kamu mau bertemu mama kamu?” tanya Papa tanpa melhat ke arahku.
Pertanyaan itu beku seperti es. Sudah bertahun-tahun lamanya Papa tidak pernah menyinggung tentang Mama. Mama sudah kembali ke negara asalnya, dan kami pindah rumah untuk menghilangkan jejak darinya.
Hanya suara detakan jarum jam yang terdengar. Menunggu jawabanku.
“Saya bingung, Pa,” aku bergumam pelan. “Bertahun-tahun saya menyimpan pertanyaan ini. Saya tahu, dulu saya cuma anak kecil yang tidak tahu apa-apa.  Tapi saya masih ingat, waktu papa berubah. Papa berubah semenjak sering ke masjid!”
Papa menatapku. “Agama saya melarang menikah dengan wanita yang berbeda agama.”
“Saya bingung, Pa, benar-benar bingung. Bukankah Tuhan yang menciptakan rasa cinta itu? Tapi kenapa karena Dia seseorang harus berpisah, anak berpisah dari ibunya, dan mereka yang saling mencintai tidak boleh bersatu.”
“Kamu akan mengerti. Kalau kamu menjadikan Allah sebagai pemilik cinta, maka cinta lainnya harus kau korbankan. Cinta itu ibarat batu loncatan untuk keimanan yang lebih tinggi, tapi ingat karenanya kau juga bisa tersandung."

"Kalau kamu menjadikan Allah sebagai pemilik cinta, maka cinta lainnya harus kau korbankan. Cinta itu ibarat batu loncatan untuk keimanan yang lebih tinggi, tapi ingat, karenanya kau juga bisa tersandung."

Aku masih tidak mengerti. Melangkah gusar menuju kamar.
“Berangkatlah! Temui mamamu!”
Aku segera menghempaskan pintu. Untuk apa aku menemuinya? Bukankah dia yang pergi? Lagi pula, aku punya jadwal penting minggu depan bersama Salsa.
“Salsabila?” aku teringat wajah gadis itu. Disaat sedang frustasi, membaca selalu membuatku tenang. Mungkin buku yang diberikan Salsabila tadi cocok untuk saat ini. Cinta pertama.
 ❀❀❀

Salsabila sampai di jalan yang mereka tentukan minggu kemarin. Sejujurnya, dia merasa nekat sekali bertaruh begitu pada Hanif. Bagaimana kalau lelaki itu benar-benar menembaknya? Sementara dia sedang benar-benar ingin fokus beribadah dan belajar. Pacaran hanya akan membuatnya gagal fokus, dan buang-buang waktu karena hubungan seperti itu sama sekali tidak ada manfaatnya.
Padahal Salsa sudah datang agak terlambat, tapi Hanif belum juga datang. Apa dia sudah pergi? Mata gadis itu menangkap sebuah buku di tengah jalan. Bukankah itu bukunya? Salsa mengambilnya, dan mendapatkan sebuah kertas jatuh dari sana. Sepertinya sebuah surat.

Assalamu’alaikum, Salsabila.
Terimakasih. Berkat kamu saya menemukan cinta pertama saya. Bukan, bukan kamu. Tapi ibu saya. Lewat buku yang kamu pinjamkan, saya tahu. Lewat pertemuan kita yang singkat, saya belajar banyak hal. Dan karena kamu, saya memutuskan untuk tidak memilih kamu. Saya pergi menemui ibu saya hari ini.
Pertanyaan saya.  Apakah kamu mau untuk tidak jadi pacar saya? Saya rasa, hubungan tanpa ikatan pacaran lebih nyaman dan tidak merugikan. Kita maih teman, kan?
Hanif Kenichi

Salsabila tersenyum dan mengangguk. ‘Iya.”
Cerpen di atas sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen “Teruntuk Engkau” hasil lomba yang diadakan oleh penerbit Pustaka Tunggal bertema Cinta Pertama yang diselenggarakan 30 Maret - 28 April 2017.

IG : putri.alvita
Megutip seluruh/sebagian artikel/tulisan dari blog ini dibolehkan dengan syarat tetap mencantumkan link sumber, http://putriall.blogspot.com

1 komentar:

Write komentar